"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir". (QS. Al- Ma'arij: 19-21)
Al-Qur'an
selalu menggambarkan setiap realitas kehidupan, kematian, alam semesta,
bahkan kiamat dengan gambaran yang mengagumkan, bahkan juga sangat tepat
dan menyentuh.
Ungkapan Al-Qur'an pun sangat sempurna ketika mengungkap watak asli
manusia dalam ayat di atas, yaitu manusia yang hatinya kosong dari iman.
Tidak ada yang melindungi manusia dari sifat-sifat buruk ini dan
membersihkannya kecuali iman.
Iman yang mampu menghubungkannya
dengan Sumber yang hanya di sisi-Nya ia dapat memperoleh ketenangan.
Sumber yang menjadi tempatnya berpegang dengan kuat saat kesedihan
datang mengelayutinya, bahkan membuatnya jatuh tersungkur karena tak
kuat menghadapi kesulitan. Sumber yang dapat melindunginya dari sifat
kikir ketika ia memperoleh kebaikan dan kelapangan hidup.
"Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat
kikir. (QS. Al Ma'arij: 19-21)
Dalam tiga ayat pendek di atas,
sungguh seakan-akan setiap kalimatnya merupakan sebuah sentuhan dari
goresan indah yang dibuat untuk melukiskan sifat-sifat manusia, dengan
kalimat-kalimat singkat membicarakan gambaran kehidupan. Dari
celah-celahnya digambarkanlah manusia dengan sifat-sifat aslinya, yaitu
"keluh kesah" ketika ditimpa kesusahan dan "kikir" ketika mendapat
kesenangan.
Hampir tiap hari, bahkan tiap saat kita selalu
mendengar keluh kesah di tengah aktifitas kehidupan kita, keluh kesah
yang kadang sangat erat hubungannya dengan kondisi jiwa dan iman yang
sedang melemah.
Orang yang hatinya sepi dari iman itu mengira
bahwa kesedihan itu bersifat abadi, kekal dan tiada yang dapat
menghilangkannya. Ia pun mengira bahwa masa yang akan datang adalah akan
menjadi petaka baginya. Maka dipenuhilah hatinya dengan bermacam
kesedihan, sehingga ia mengira bahwa ia tidak akan terlepas dari
kesedihan ini. Ia telah dimakan oleh kesedihan dan dirobek-robek oleh
keluh kesah. Hal ini terjadi karena ia tidak berlindung kepada pilar
penyangga yang kokoh bagi azamnya, dan tidak menggantungkan cita-cita
dan harapannya kepada Allah.
Selain itu sifat aslinya yang lain
adalah "sangat kikir" terhadap kelapangan saat ia mendapatkannya. Ia
mengira bahwa keberhasilan itu karena upaya dan jerih payahnya sendiri.
Karena itu ia lantas bersikap kikir kepada orang lain, dan memonopoli
kekayaan untuk pribadinya sendiri. Sehingga, jadilah ia sebagai tawanan
bagi kekayaannya, dan menjadi budak bagi kerakusannya.
Hal ini
disebabkan karena ia tidak mengetahui hakikat rezeki dan peranannya. Ia
tidak melihat kebaikan Tuhannya kepadanya karena sudah terputus
hubungannya, dan hatinya sudah kosong dari merasakan keberadaan dan
campur tangan-Nya.
Karena itu, ia selalu berkeluh kesah dalam
kedua kondisinya. Yaitu, berkeluh kesah di saat susah dan berkeluh kesah
ketika mendapat kesenangan, inilah gambaran buruk manusia ketika
hatinya kosong dari iman.
Dengan demikian, tampaklah bahwa iman
kepada Allah merupakan suatu yang sangat besar bagi kehidupan
manusia."Iman bukan sekedar kata yang diucapkan dengan lisan, dan bukan
pula sekedar simbol ubudiyah (pengabdian) yang diperagakan. Tetapi iman
adalah kondisi jiwa dan manhaj (acuan) kehidupan, serta pandangan
kehidupan yang sempurna terhadap norma dan nilai, peristiwa-peristiwa
dan semua keadaan". Begitulah ungkapan Ustadz Sayyid Qutb ketika
menguraikan penjelasan ayat ini.
Ketika hati kosong dari iman
yang menegakkan dan meluruskannya ini, maka ia akan goyah, senantiasa
terombang-ambing bagaikan bulu yang terbangkan angin, ia akan terus
goncang dan takut. Ketika ditimpa kesusahan ia mengeluh, ketika
dikaruniai kesenangan iapun kikir.
Adapun jika hati disemarakkan
dengan iman, maka ia senantiasa tenang dan pemurah, karena selalu
berhubungan dengan sumber segala peristiwa dan pengatur segala keadaan.
Ia akan selalu merasa tentram dengan kekuasaan-Nya, mampu menerima
ujian-Nya, selalu melihat solusi dari-Nya atas kesempitan, dan menemukan
kemudahan dari-Nya atas kesulitan. Ia akan selalu menghadap kepada-Nya
dengan kebaikan, karena ia tahu bahwa apa yang ia infakkan adalah rezeki
dari-Nya dan kelak ia akan mendapatkan balasan dari apa yang ia
infakkan itu, di dunia dan di akhirat.
Maka, iman adalah suatu
usaha di dunia yang terwujud hasilnya sebelum mendapatkan balasan di
akhirat, yang menimbulkan kegembiraan, ketenangan, kemantapan dan
kestabilan selama perjalanan hidupnya di dunia.
Sifat-sifat orang
mukmin yang dikecualikan dari sifat-sifat umum manusia itu dijelaskan
batasan-batasannya dalam rangkaian ayat berikutnya, bahkan ayat-ayat ini
merupakan sarana penting dalam mengikis dua sifat dia atas.
Sifat
pertama yaitu "keluh kesah" dapat dikikis dengan sholat, karena sholat
merupakan sarana berkeluh kesah yang sesungguhnya, yaitu berkeluh kesah
kepada Allah yang dapat menghilangkan kesedihan dan kedukaan sehingga
berubah menjadi kebahagiaan dan ketenangan.
Shalat lebih dari
sekedar rukun Islam dan simbol iman. Ia adalah saran berhubungan dengan
Allah dan tindak lanjut dari kesadaran batinnya. Maka sholatnya ini
adalah sholat yang tidak pernah ia tinggalkan lantaran lalai ataupun
malas. Kata "daaimuun" dalam ayat ini mengisyaratkan perhatian terhadap
sifat keseriusan dan kesungguhan dalam hubungannya dengan Allah,
sebagaimana hubungan inipun harus dihormati, karena hubungan ini
bukanlah permainan yang begitu saja dapat disambung dan diputuskan
sesuai selera.
"Allah berfirman: kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu senantiasa mengerjakannya". (Al Ma'arij: 22-23)
Sifat
kedua yaitu "sangat kikir" dapat dikikis dengan cara melatih diri untuk
biasa berbagi dengan kelebihan yang Allah titipkan kepadanya.
"dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta)." (QS. Al Maarij: 24-25)
Perasaan dan kesadaran
tentang adanya hak di dalam hartanya untuk orang miskin yang
meminta-minta dan yang tidak meminta-minta adalah kesadaran tentang
adanya karunia Allah pada satu sisi lain, yang melebihi keterbatasan
perasaannya dari belenggu kekikiran dan kerakusan. Pada waktu yang sama
hal ini menunjukkan adanya rasa kesetiakawanan sosial, rasa senasib dan
seperjuangan dengan sesama masyarakatnya.
zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz
Sampai disini dulu,, hehehehehehe
sepertinya mood ghoib,, kwkwkwkwkwkwkkkwwk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar